Zellena Aghy bersama sepeda kesayangannya datang menemui Karelio Biru yang meminta bertemu di taman Puri Semanggi, taman tempat Zellena dan Jingga bertemu kala itu.
Sebenernya Zellena mau-mau saja untuk datang ke rumah Biru. Namun, Biru menolaknya dengan alibi menagih ucapan Zellena itu. Katanya sekalian Zellena menepati ucapannya yang ingin mengajak Biru ke taman itu, meskipun sekarang yang mengajak adalah sebaliknya. Padahal sebenarnya, Biru hanya tidak ingin waktu berdua dengan Zellena diketahui oleh Jingga. Sejak Jingga mengetahui perihal hubungannya dengan Zellena, Biru jadi semakin menjaga privacy mereka berdua. Bukan karena malu atau semacamnya, tapi Biru memang tidak ingin Jingga mengetahui urusan antara dirinya dengan Zellena, sekaligus menjaga kenyamanan si puan.
Biru sudah sampai sejak lima menit yang lalu. Ia tidak sendirian di taman ini, ada sekumpulan anak-anak sedang bermain bola di lapangan dengan penampilan yang sudah lusuh penuh keringat. Biru tersenyum getir, menyadari bahwa ia tidak memiliki momen seperti itu. Momen bermain bersama teman, momen ngebolang bersama teman, momen yang memang seharusnya dimiliki untuk anak-anak seusianya. Biru iri.
“Kakak!” suara perempuan mengalihkan perhatiannya. Biru melambaikan tangan begitu melihat Zellena berlari kecil dengan paper bag di tangannya, juga senyum yang terpatri dengan lebar di wajahnya yang minimalis. Biru menepuk spot kosong di sebelahnya, mengarahkan Zellena untuk duduk di sana.
“Lo udah lama?” tanya Zellena begitu duduk. Napasnya masih sedikit tersenggal. Tangannya sibuk merapikan rambut yang berantakan karena tertiup angin. Paper bag yang ia bawa sudah diletakkan di atas meja.
“Belum,” jawab Biru. Setelahnya ia melirik paper bag yang terletak di atas meja. “Apa ini?”
Dengan penampilan yang sudah lebih rapih Zellena kembali tersenyum. “Cinnamon Roll! Ini sesuatu yang gue maksud kemarin!” jawabnya begitu antusias. Zellena mengeluarkan alumunium tray berisi Cinnamon Roll dari dalam paper bag, membiarkan Biru melihat mahakaryanya yang dibuat dengan penuh cinta.
“Wow,” Biru terpaku melihat penampilan Cinnamon Roll yang begitu menggiurkan. Di tutup beningnya masih keliatan embun tanda kue itu masih fresh from the oven. “Makasih, ya,” ucapnya tulus. Biru selalu menghargai pemberian Zellena, apapun itu, meskipun ia kurang begitu suka dengan makanan atau kue manis.
“Gue makannya nanti aja, boleh?” tanya Biru. Biru selalu menghargai pemberian Zellena, tidak mau membuat Zellena tersinggung karena tidak langsung memakannya, meskipun ia yang memiliki hak untuk makan kapan saja.
“Boleh, lah!” Zellena membalas. Itu bukan masalah yang besar untuk Zellena. Biru menerima saja sudah cukup membuat harinya jadi lebih baik. Zellena masih terus tersenyum, menatap Biru yang sedang membereskan kuenya.
Sejak Zellena mengakui kalau ia jatuh cinta dengan Biru, laki-laki itu jadi terlihat lebih menawan untuknya. Zellena jadi selalu merasa kalau Biru itu pangeran dari surga yang terlempar ke bumi. Zellena jadi selalu merasa ingin melihat Biru terus-terusan. Mungkin kalau disuruh lomba ngeliatin wajah Biru, Zellena akan sukarela menjadi peserta nomer 1.
“Kak,” Zellena nekat manggil walaupun tatapan matanya masih penuh cinta.
“Ya?” Biru menoleh, menyatukan netra.
“Lo belasteran, ya?” tanya Zellena selanjutnya.
Sekarang Biru sedikit mengernyit. Kenapa bisa Zellena mikir sampai sana?
“Nggak,” jawab Biru menggeleng polos.
“Ooh. Kirain belasteran surga saking cakepnya.”
Ooh ternyata gombal. Biru sedikit terkekeh, rada kaget sama gombalan itu. “Ada-ada aja.”
Zellene cekikikan melihat respon laki-laki di sebelahnya. Biru memang selalu seperti itu kalau digombalin, hanya terkekeh lembut. Entah terkekeh salah tingkah atau kaget. Tapi kayaknya Biru lebih ke kaget.
Sekarang Zellena menyenderkan punggungnya ke kursi taman, menatap sekumpulan bocah laki-laki yang masih bermain bola di depan mereka. Meski jaraknya cukup jauh, sorakan seru dari kumpulan anak-anak itu tetap terdengar dan menghantarkan suasana riang yang mereka miliki. Zellena jadi teringat dengan momen masa kecilnya dulu bersama Kana. Momen di mana Zellena selalu ngintil ke manapun Kana bermain, tidak peduli Kana bermain apa dan dengan siapa. Kalau dia bisa ikut, ya dia ikut.
“Kak, seru, ya, liat mereka. Keliatan bahagia banget bisa nikmatin waktu mereka dengan benar dan tepat untuk anak-anak seusia mereka.” Zellena berucap dengan tenang. Tatapan teduhnya masih menatap lurus anak-anak itu.
Biru tertegun, merasa tersentil. “Iya,” jawabnya singkat, tidak tahu harus jawab apa.
“Gue dulu kayak gitu juga sama Kana. Main setiap hari kayak nggak ada waktu lain,” Zellena cekikikan. “Pokoknya yang dipikirin cuma main, main, main, seolah-olah nggak ada hal lain yang harus kita pikirin, contohnya PR dan belajar.”
“Terus gara-gara itu, papa jadi sering marah-marah, deh, ke gue.”
“Kenapa?” sahut Biru kepo.
“Karena gue males. Gue nggak suka belajar dan nggak peduli sama nilai. Sedangkan papa maunya punya anak yang pinter biar bisa dibanggain,” jawab Zellena lurus. Tidak ada emosi yang terkandung di dalam kalimat itu. Perempuan itu mengendikkan bahu, ia melanjut, “intinya karena gue nggak sesuai sama keinginan papa, sih, jadi papa marah dan kecewa.”
Biru yang sudah ikut senderan menoleh ke kiri, “Terus sekarang gimana? Masih marah dan kecewa?”
Sebuah senyum Zellena ciptakan di wajahnya, ia ikut menoleh, menyatukan netra cokelat gelapnya dengan netra cokelat yang lebih muda milik Biru. “Udah nggak.”
“Good for you,” timpal Biru ikut mengulum bibirnya, tipis.
Semburat merah muda muncul di pipi Zellena secara perlahan. Ia menahan senyumnya agar tidak terlalu lebar. Padahal kalaupun lebar juga nggak apa, bukan? Tapi, tentu saja Biru tidak menyadari ada pink-pink di pipi si perempuan.
Ada keheningan yang tercipta setelah Zellena menyelesaikan ceritanya. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikirannya sendiri, sembari menatap kumpulan anak-anak yang mulai bubar karena sang kapten yang disuruh pulang untuk mengaji. Tersisa mereka berdua di taman ini, taman yang dibangun dengan adil antar bagian, termasuk di bagian mereka duduk saat ini. Matahari masih memancarkan sinarnya, namun mereka tetap aman karena ada atap yang melindungi. Hanya semilir angin sore yang mereka terima saat ini.
“Kak,” panggil Zellena usai ia mengumpulkan kembali energinya. Berharap Biru juga sudah bisa untuk ngobrol.
“Ya?” Biru selalu lembut dalam perihal menjawab panggilan dan selalu berhasil membuat Zellena gugup karena mendengar suara itu.
“Lo nggak mau cerita juga? Masa gue doang yang cerita? Cerita dong waktu main sama Eldin ngayap ke mana aja!” kata Zellena dengan nada menagih. Kedua lengannya yang tidak terlindungi kaus dilipat di depan dada. Zellena memicing menatap Biru.
Laki-laki berkemeja itu terkekeh halus. “Nggak kemana-mana. Gue kalo main sama Eldin, ya, di rumah doang.”
“Nggak mungkin!” Zellena menegakkan tubuhnya, kemudian sedikit menyerong ke arah Biru. “Bocah cowok, ‘kan, kalo main keliling dunia! Rumah kosong di ujung berung pun mereka samperin.”
Lagi-lagi Biru mengeluarkan tawa, “Ya, gue nggak masuk ke kategori itu mungkin?”
Jawabannya terdengar sedikit menyebalkan di telinga Zellena meski tahu jawaban Biru nggak serius. “Agak nyebelin, ya, jawabannya,” seloroh Zellena.
Biru tergelak. Zellena memang akan selalu jujur.
“Tapi beneran di rumah doang? Not even ke lapangan or something?” Meskipun gitu, Zellena tetap percaya pada Biru meskipun tidak 100%.
“Iya,” jawab Biru mengangguk kecil. “Dulu gue tinggal di rumah enin. Mungkin di rumah enin ada lapangan, atau taman kayak gini. Tapi gue … nggak keluar rumah … sama sekali.” Suara Biru mengecil di ujung kalimatnya.
“Hah …” Zellena melongo. “Kenapa …? Emang nggak bosen di rumah doang?” lirihnya.
Biru tertegun. Jantungnya jadi berdetak lebih cepat karena alasannya cukup serius. Apakah cerita ke Zellena adalah tindakan yang bagus? Biru ragu. Ia tidak ingin bercerita, tapi ia juga tidak punya alibi yang bagus. Laki-laki itu mengigit bibir bagian dalamnya.
“Gue … takut sama orang?” Biru ragu dengan pilihan bahasanya. Laki-laki itu bisa melihat ada kerutan yang tercipta di kening Zellena.
“Kenapa takut?”
Biru takut Zellena akan bertanya lebih lanjut dan itu terjadi. Biru takut karena ia tidak memiliki jawaban yang lebih baik untuk diumbar ke Zellena. Masa itu terlalu suram untuk diceritakan, dan Biru tidak yakin bisa menceritakan itu dengan baik atau tidak. Apakah memberi tahu Zellena adalah pilihan yang tepat? Biru tidak tahu.
“Jangan canggung — canggung sama Zel, Bi. Keep her. Siapa tau dia bisa bantu lo keluar dari zona nyaman lo ini.”
“Sampai kapan lo mau nutup diri kayak gini?”
Ucapan Jingga tempo lalu yang menohok hati tiba-tiba terputar di otaknya. Ucapan yang pada saat itu dinilai tidak memiliki maksud lebih oleh Biru. Ucapan yang Biru anggap hanya sebatas ungkapan hati Jingga yang kasihan pada dirinya.
Tapi sekarang, entah kenapa ucapan itu jadi terdengar memiliki nilai dan maksud yang berarti. Biru masih terdiam di tempatnya tanpa suara, merasakan adanya perdebatan yang terjadi di antara hati dan logikanya. Biru membiarkan dua unsur itu bergelut, menunggu mana yang akan berhasil menguasai dirinya.
Andai Biru tahu kalau sebenarnya Zellena dapat membaca gerak-geriknya. Andai Biru sadar kalau bungkamnya dia yang lama seperti ini sudah mampu membuat Zellena berpikir ada sesuatu yang ia sembunyikan. Andai Biru dapat menangkap ada ritme helaan napas yang tidak normal dari sebelahnya.
Itu suara napas Zellena. Suara yang terdengar sedikit berburu karena si empu yang mulai memikirkan banyak hal perihal laki-laki di sebelahnya. Zellena gugup, ritme jantungnya sedikit lebih cepat. Nama belakang milik Biru dan Jingga yang berbeda menggerayang di pikirannya. Zellena gugup menunggu jawaban Biru. Perempuan itu berpikir ia akan menemukan jawaban perihal family name itu sekarang.
“Sebut aja, gue punya trauma yang efeknya bikin gue jadi menutup diri.”
Oh … ini adalah jawaban yang tidak masuk ke dalam daftar kemungkinan yang Zellena buat untuk Biru. Baru pembukaan tapi napas Zellena rasanya sudah tercekat.
“Papa dulu nggak suka sama gue. Gue ditelantarin papa sejak gue 5 tahun seolah-olah gue bukan anaknya. Gue nggak diurusin, diasingkan, dimarahin, dihukum, dan selalu disalahkan atas apa yang terjadi di keluarga gue. Papa cuma sayang sama Jingga waktu itu. Dia kasih semuanya untuk Jingga, sedangkan gue nggak dikasih apa-apa.”
Zellena shock. Ini lebih dari apa yang Zellena pikirkan selama ini.
Biru bercerita dengan tempo yang lambat. “Mungkin kalo dibahasain sekarang — gue kena mental. Gue ngerasa mama, papa, Jingga nggak sayang sama gue, ngerasa mereka orang jahat dan cuma mau nyakitin doang, ngerasa gue harusnya nggak sama mereka. Gue nggak bisa handle itu sampe akhirnya gue takut sama mereka, makanya gue minta tinggal di rumah enin.”
Biru rupanya membiarkan hatinya menguasai. Laki-laki itu bercerita dengan segala emosi yang sekuat tenaga ia sembunyikan. Dia bahkan menghindari bersitatap dengan Zellena.
“Gue bahkan takut sama semua orang. Gue cuma berani ngomong sama Enin, Biyan, dan Eldin doang karena gue ngerasa cuma mereka yang nggak akan nyakitin gue. Gue home chooling saking gue takut sama orang lain, takut sama dunia luar. Keluar lewatin pager rumah Enin aja gue nggak bisa.” Biru tertawa kecil di ujung kalimatnya, sebagai jeda.
Zellena terkesiap. Dadanya terasa semakin sempit. Matanya memanas.
“Waktu gue udah mulai “damai” sama Jingga dan mama, papa malah bawa Jingga pergi buat tinggal di Singapore. Terus gue jadi kena mental lagi, deh. Gue semakin takut buat “kenal” sama orang karena gue mikir mereka nanti akan ninggalin gue juga. Jadi, ibaratnya, gue bikin tembok tinggi banget buat membatasi diri gue dari dunia luar.” Biru lagi-lagi tertawa halus. Sebuah gelak tawa yang terdengar lembut, tapi tak seharusnya bisa tercipta dengan begitu tenang di sana. Zellena sekuat tenaga mengatur ritme napasnya, tapi tidak bisa. Air mata mulai terjun bebas di pipi mulus Zellena.
Biru menatap Zellena yang sudah berderai air mata. “Kalo lo tanya kenapa gue cuma mau di rumah — ” Biru tersenyum tipis untuk menjeda, tangannya menghapus air mata Zellena tanpa sadar, secepat kilat.“ — itu jawabannya.”
Dengan isak tangisnya sang puan bertanya, “Did it hurt you a lot?” suaranya bergetar. Cairan bening dari matanya terus berproduksi, membuat pandangannya buram.
“It hurt a lot.” Biru mengangguk dengan senyum. Senyum yang entah apa artinya. Detik berikutnya air mata kembali membasahi wajah Zellena. Bibir perempuan itu sedikit maju untuk menahan isaknya.
“Is that the reason why your last name and Jingga’s are different?” tanya Zellena masih menguatkan diri.
Biru kontan mengerutkan alisnya sedikit. “Kok tau?”
“Di tutup kotak makan itu, ada nama lengkap Kak Jingga,” Zellena melirik kotak makan yang ada di dalam paper bag, setelahnya kembali menatap Biru yang bergeming.
“Iya,” jawab Biru tanpa ragu.
Zellena sudah tau sampai situ, ya?
“Risjad nama belakang mama,” lanjutnya.
Seperti ada batu besar yang menimpa dada Zellena, perempuan itu sedari tadi tidak bisa bernapas dengan benar karena rasa sesak yang memenuhi relung dada. Semakin Biru bercerita, semakin berkurang pasokan udara yang ada di sekitarnya. Masa lalu laki-laki yang sekarang sedang hinggap di hatinya terdengar begitu menyakitkan. Zellena sesak karena merasa hatinya tergores, ditambah dengan tahanan isak yang begitu kuat sedari tadi. Air mata belum berhenti keluar selama Biru bercerita sampai matanya memerah. Banyak sekali kalimat-kalimat yang beterbangan di kepalanya. Zellena rasanya ingin menangis meraung-raung.
“Ternyata ini alasan kenapa Kak Karel jadi pendiem dan tertutup. Ternyata ini alasan kenapa Kak Karel cuma nyebut Mamanya. Ternyata ini alasan kenapa Kak Karel sayang banget sama Enin …”
“He lost his childhood. He lost himself. He lost his family. He doesn’t deserve all of that. He — ”
Bibir Zellena semakin maju dan bergetar. Sungguh dia sudah tidak tahan lagi untuk menahan tangisnya. Ia tubruk laki-laki di depannya dengan kencang, mendekap punggung lebar milik Biru seerat mungkin, meremas kemeja Biru sekencang mungkin.
Biru membeku dan Zellena menumpahkan air matanya di sana, di dalam pelukan yang ia buat.
“Let me hug you for a moment, Kak. I need to calm down myself — and maybe you too.”
Pelukan pertama mereka ternyata untuk menenangkan satu sama lain.