“Zel, ke rumah, yuk.”
“Ngapain?!”
Ini adalah pertemuan perdana antara Zellena dan Mama Anita. Zellena tidak menyiapkan apapun karna terlalu dadakan. Ia juga sebenarnya tidak yakin atas keputusannya sendiri. Ingin menolak, tapi ajakan ini adalah permintaan Mama Anita. Zellena tidak seberani itu untuk menolak.
Zellena duduk di ruang keluarga Biru ditemani si pemilik rumah. Biru tahu kalau perempuan di sebelahnya pasti sedang tergugup-gugup. Laki-laki itu terkikik kecil melihat tegangnya tubuh Zellena.
“Kenapa tegang banget sih, Zel? Mama gue bukan presiden.” Biru meledek sembari menyambar gelas Zellena yang sudah kosong. Laki-laki itu ingin mengisi kembali gelasnya dengan air putih.
“Ya, atuh? Masa gue ketemu sama Mama lo pas lagi pake baju jelek begini.” Zellena menunjuk pakaian casual yang membalut tubuhnya.
Karna niat awal hanya ingin membeli snack untuk para kucing dan jajan, Zellena tentu memilih menggunakan outfit yang nyaman dan tidak terlalu heboh. Perempuan itu hanya menggunakan baju knit panjang bewarna coklat yang dia masukan ke dalam kulot hitamnya. Rambutnya yang sedari tadi ia jepit, sekarang ia biarkan tergerai.
“Santai aja, Mama gue bukan juri fashion show.” Biru meletakkan gelasnya kembali di hadapan Zellena dan duduk di sebelahnya.
Suara pintu terbuka terdengar dari arah kiri. Zellena menoleh, mendapati Anita yang wajahnya terlihat sangat berseri-seri. Zellena sedikit terperangah karna postur tubuh dan wajah Anita yang masih terlihat seperti mahasiswa.
“Oh, hai? Zellena, ‘kan?” Anita langsung menghampiri Zellena yang sedang berdiri menunggunya. Kaki Zellena terasa kaku untuk melangkah, ia masih sangat canggung untuk sekedar bergerak.
Zellena menyambut Anita. “Halo, Tante. Hehe, iya, aku Zellena.” Zellena memperkenalkan diri dengan kaku
“Aku Anita.” Anita membalas dengan senyumnya yang super lebar.
“Ayo duduk lagi,” lanjutnya mengajak teman anaknya duduk.
Belum ada obrolan yang mulai. Anita masih asik mengamati Zellena lamat-lamat sedangkan Zellena dan Biru mendadak berubah jadi batu. Anita seperti duduk di antara 2 batu.
“Ini Zellena betulan? Yang temen kecil kamu itu, Bi?” Anita bergantian menatap Biru dan Zellena. Ia tampak masih belum percaya.
“.. iya.” Biru mengangguk.
“Ya ampun…” Anita menutup mulut dengan dua tangannya. “Udah besar, ya …” Ia menatap Zellena dari atas sampai bawah, kemudian memeluknya. Ibu 2 anak itu mengusap punggung Zellena dengan lembut.
“Aku dari dulu penasaran banget sama kamu,” jujur Anita setelah melepas pelukanya. “Tapi kata Biru, kalian mainnya jarang-jarang, ya? Makanya dulu Biru ceritanya juga jarang.”
Zellena menyengir canggung. “Hehe. Iya.”
Jarak 350 M buat mereka — Biru dan Zellena — yang masih kelas 3 dan 2 SD itu jauh, inilah yang menyebabkan mereka jarang bermain. Mungkin bila dihitung, total berapa kali mereka bermain bersama itu masih bisa dihitung jari.
Kalau sekarang, jalan kaki pun akan Zellena taklukan. Ia sudah tidak takut lagi.
Anita sebenarnya tahu kisah mereka berdua di masa itu, namun seiring berjalannya waktu, ingatannya tentang Zellena menghilang perlahan. Ia merasa butuh diingatkan kembali melalui cerita dari si anak langsung. Anita merasa senang karna akhirnya bisa bertemu Zellena, sosok yang selalu menjadi objek cerita Biru.
Tidak butuh waktu lama untuk membuat mereka berdua akrab. Sambutan hangat yang diberikan Anita cukup membuat perasaan gugup Zellena menghilang dengan pesat. Jiwa muda yang masih tertinggal di diri Anita sangat membantu untuk ia menyesuaikan diri dengan Zellena. Obrolan-obrolan yang mereka bawa pun semakin lama semakin santai.
“Waktu awal ketemu Biru, gimana itu?”
Zellena langsung tersenyum malu-malu. “Waktu awal masuk sekolah semester 2. Beneran hari pertama banget.” Zellena mulai kembali ke masa itu.
Masa saat ia pertama kali bertemu Biru untuk pertama kalinya setelah hampir 9 tahun tidak bertemu. Masa saat Zellena meminta tolong pada Biru untuk membantu mengeluarkan motornya dari parkiran, tanpa tahu orang itu adalah Biru.
“Awalnya aku nggak ngenalin Ka Biru. Terus tiba-tiba Eldin nge-chat aku, nanya ‘abis ketemu Biru ya?’ gitu tapi aku bingung Biru ini siapa. Dijelasin Eldin dikit tapi aku nggak inget, bahkan sampe Ka Biru yang jelasin pun aku masih nggak inget. Pas diingetin sama nama ‘Lio’, baru inget. Tapi inget orangnya aja, kenangannya nggak.” Perempuan muda itu terkekeh malu.
“Itu akhirnya komunikasi lagi sama Biru karna apa?” Anita masih tampak penasaran dengan kisah 2 anak ini.
“Karna gantungan aku putus! Gantungan aku putus tapi aku nggak tau.”
“Terus Biru yang ambil?”
“Iya!”
Dua perempuan itu tertawa lagi terbahak-bahak, tampak seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Mereka membuat Biru seolah menjadi tamu karna anak itu hanya menyimak dan ketawa-ketawa kecil saja.
“Kalau di sekolah, Biru gimana?” Anita memulai sesi pergibahan. Biru yang tadinya cengar-cengir mendengarkan langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi ketus.
Zellena memberikan ekspresi mikir. “Hmm? Baik, kok. Ka Biru sering dipanggil sama guru-guru buat bantuin guru atau nyampein informasi. Semacam jadi kepercayaan guru gitu.” Zellena tersenyum lugu.
“Terus, dia ini lebih suka misahin diri dari Eldin dan Ka Aksel sampai kadang temen-temen lain suka nanyain ke mereka berdua kayak: ‘berdua aja, si Karel kemana?’. Yang dua ke kantin, Ka Biru ke perpus buat bersemedi.”
Anita tertawa mendengar ungkapan Zellena. Anak bungsunya memang seperti itu semenjak remaja, lebih suka menyendiri, tidak suka ramai, dan cenderung menutup diri. Berbeda dengan Jingga yang suka keramaian dan membuat ramai. Anita juga kadang kala merasa heran mengapa sifat dan sikap kedua anaknya itu seperti tertukar.
Biru yang dulu adalah Jingga yang sekarang dan Jingga yang dulu adalah Biru yang sekarang. Keceriaan, kehebohan, dan kebawelan Biru kecil telah berpindah ke Jingga dewasa.
Usai bercengkrama dengan Anita. Biru mengide untuk membawa Zellena ke taman kecil belakang rumahnya. Salah satu tempat favorit Biru untuk berbengong ria. Taman yang selalu menjadi pendengar baik atas cerita-ceritanya, selain Bi Yani — yang kerap dipanggil “Biyan”. Biru suka menemani Biyan memasak dengan cerita-ceritanya.
Mereka sedang duduk di atas ayunan kayu di sebelah kolam ikan. Kaki Biru sibuk mengayun, sedangkan Zellena asyik menikmati angin sepoi-sepoi. Taman belakang rumah Biru menyatu dengan dapur kotor dan ruang makan, terlihat unik dan berbeda jika dibandingkan dengan model rumah Zellena.
Tidak ada yang berbicara. Biru membiarkan Zellena mengamati taman belakang rumahnya. Terasa canggung dikit, tapi Biru dapat mengatasi itu. Beberapa kali ia menggunakan kesempatan ini untuk mencuri pandang ke objek sebelahnya.
“Zel, masih mau tau kenapa gue pindah?” Biru akhirnya memecah keheningan. Mungkin sudah tidak kuat menahan kesunyian.
Yang ditanya langsung menoleh bersemangat. Ia sampai mengubah posisi duduknya agar lebih condong ke arah Biru. “Masih, dong!”
Biru mengangguk dan terdiam. Otaknya mulai bekerja untuk merangkai kata agar mudah dipahami.
“Hm … .” Biru bergumam sebagai pengawalan. “Kalau dibilang pindah dadakan … emang bener, sih …”
Biru kembali terdiam beberapa detik. Ia merasa tidak yakin untuk mengatakannya. Tapi akan tetap ia katakan karna baginya, ini adalah alasan utamanya.
“Papa kabur waktu gue lahir karna papa nggak suka sama ‘kehadiran’ gue,” kata Biru dengan ragu pada akhirnya. Hatinya terasa seperti digigit semut saat mengungkapkan kepahitan ini.
Zellena melotot dan membuka mulutnya kaget. Ini adalah pembukaan cerita yang sangat mengejutkan.
“Karna itu, mama yang tadinya kerja normal, jadi kerja berlebihan. Mama kerja banting tulang sendirian demi ngidupin gue, Jingga, dan Enin. Gue sama Jingga sebenernya nggak suka ngeliat mama gila kerja kayak gitu. Tapi kata mama, mama kerja juga buat kami, jadi … ya udah …, kami nggak bisa ngelarang ataupun protes banyak-banyak.”
Biru semakin bejalan ke masa lalu.
“Ini pas gue awal kelas 3. Pas itu, gue sama Jingga abis nginep biasa di rumah enin. 3 hari setelah pulang, Jingga ngajak nginep lagi. Nggak tau apa yang buat dia pengen nginep lagi, tapi di situ Jingga sampe nangis sesegukan. Kami akhirnya nginep lagi, nginep yang ini dia minta lebih lama sampe kami harus bawa baju seragam dan peralatan sekolah lengkap.” Biru menjeda.
“Lama-lama kami nyaman dan ngerasa mau tinggal di enin aja. Setiap abis pulang ke Puri, pasti nggak lama, entah gue atau Jingga ngajak nginep lagi. Mama waktu itu sampe kesel karna kami keseringan minta nginep.” Tawa kecil dari Biru mengudara.
“One day, Jingga ngamuk karna mama nggak ngebolehin kami nginep, sedangkan alasan kami nginep itu karna kami ngerasa jadi lebih nyaman di enin dan ngerasa kesepian di rumah. Kami dulu sehari-hari cuma sama Biyan dan Mang Eko tapi rasanya tetap sepi karna mama nggak ada. Kami jarang ngabisin waktu sama mama, jarang diurusin sama mama, dan lain-lain. Pokoknya pas itu, kami ngerasa kayak nggak punya mama…” Biru melirih. Sedih saat mengingat masa itu.
“Nginep di enin itu salah satu cara kami ngerasain kasih sayang lagi. Kami nyaman tinggal sama enin.” Biru tersenyum tipis. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Liburan semester, mama ngajak liburan ke rumah enin yang tentu aja nggak gue tolak. Pas liburan udah mau selesai, kami masih di enin. Gue bingung, jadi gue nanya ke mama, kenapa kita nggak pulang?”
“Eh, mama ngejawabnya begini: ‘mulai sekarang kita tinggal di sini, ya. Sama enin.’” Biru mengikuti cara bicara mama pada saat itu. Ia menghela napas dan tersenyum kecil, kembali menatapa Zellena. “Udah, deh! Dari situ, kami nggak balik lagi ke Puri.”
Biru kembali menghela napasnya tanda ceritanya sudah selesai. Laki-laki itu merasa lega karna sudah mengungkapkan alasan mengapa ia pindah tiba-tiba dengan detail. Sebenarnya agak tidak menyangka kalau ceritanya jadi panjang.
Zellena masih tertegun menatap Biru dengan tatapan lugu. Cerita Biru terdengar begitu seru meski diawali dengan kepahitan. Zellena memiringkan kepalanya sedikit.
“Udah? Pas masuk sekolah, lo langsung kasih tau Eldin?” tanyanya.
Biru terkikik kecil melihat ekspresi Zellena. Ia mengangguk, “iya. Eldin marah-marah pas itu karna kami udah punya janji buat main badminton. Kata dia, lo juga sempet marah-marah ke dia karna gue pindah?” Biru seperti tidak yakin.
Zellena meringis dan menyengir canggung. Ia menggaruk belakang kepalanya karna tidak ingat tentang itu. “Aduh … gue lupa,” akunya malu-malu.
Kemudian dua anak manusia itu tertawa bersama. Sekarang Zellena juga sudah tidak penasaran lagi. Cerita Biru sudah cukup jelas untuknya.
Ayunan yang tadinya terhenti kembali berayun dengan kencang membuat angin malam terasa lebih menusuk. Rambut Zellena yang digerai berkibas indah terbawa angin, berhasil mencuri perhatian lelaki di sebelahnya itu sedikit demi sedikit.
Biru memperhatikan Zellena dengan hati-hati. Ia takut Zellena menyadarinya dan kembali membuat kecanggungan. Tawanya sudah hilang, digantikan dengan senyum samar. Samar sekali.
Dalam pandangannya, ia bertanya-tanya tentang Zellena pada dirinya sendiri,
Kenapa Zellena bisa menyukai dirinya? Lalu, apa yang Zellena miliki sampai berhasil membuat ia jatuh dalam waktu singkat? Apa yang Zellena miliki sampai berhasil membuat ia merasa hangat dan senang? Apa Zellena memiliki sihir, atau Zellena adalah manusia ajaib? Pertanyaan yang konyol. Tapi itulah yang sering muncul di kepalanya.
Biru senang dan nyaman bila berada di dekat Zellena, ia senang saat mengetahui Zellena menyimpan perasaan untuknya, ia merasa hangat saat Zellena tidak ragu untuk menunjukan perhatian untuk dirinya, ia merasa pipinya panas saat Zellena tidak malu untuk menujukkan rasa sukanya.
Biru juga kerap berpikir, apakah ini berlebihan atau tidak? Namun pemikirannya yang itu sering kali dibantah dengan pikirannya yang lain, pikiran lainnya yang mengatakan bahwa merasakan fase jatuh cinta pada masa sekolah adalah hal yang normal. Memikili perasaan suka dan sayang adalah hak setiap orang.
“Zel,” Biru memanggil usai puas memandangi Zellena diam-diam. Beruntung yang dipanggil pun tidak menyadarinya. Perempuan itu sedari tadi tenggelam dalam sejuknya angin.
“Hm?” Zellena menoleh, menyatukan netranya pada netra coklat gelap milik Biru. BIru tidak langsung menjawab, laki-laki itu terdiam untuk beberapa sekon, membuat Zellena merasa sedikit nerveous. Jantungnya berpacu dengan cepat, dan pipinya memanas.
“Is it really okay if I fall for you?”
Jantung Zellena merosot.