Night talk.

ruby
5 min readJun 19, 2022

--

Di atas hamparan rumput hijau yang luas, Biru dan Zellena duduk di atasnya dengan santai. Dengan hembusan angin dan beberapa kapal yang berlalu lalang sebagai teman. Cahaya dan suara manusia yang minim, Biru membiarkan Zellena merilekskan diri, membuang pikiran-pikiran buruk yang bersarang di kepalanya menguap dan menyatu dengan angin.

“Katanya, banyak yang mau kamu omongin?” Zellena membuka suara kala sudah merasa puas berdiam.

Biru menaikkan alis dan mengangguk pelan. “Iya.”

“Ya udah, ayo ngomong. Aku mau denger.” Zellena berucap dengan senyum manisnya. Ia juga membetulkan duduknya agar sejajar menghadap Biru.

Biru diam untuk beberapa menit untuk menyusun kalimat mana yang terdengar bagus dan sekiranya tidak melukai hati.

Biru berdeham panjang sebelum mulai bicara.

“Yang pertama, aku mau kamu kalau udah cape, langsung aja istirahat. Jangan mikirin kamu baru belajar berapa jam. Utbk kamu makin deket, bukan berarti kamu makin keras belajarnya. Justru harusnya dikurangin biar kesehatan kamu ngga kesenggol.”

“Teruss —ini yang kedua. Iri sama orangnya, tuh, jangan sering-sering, aku ngomong gini karena sering banget denger kamu iri sama orang.”

Zellena menyengir. “Ya, soalnya aku emang iri karena aku nggak seberuntung orang-orang yang pinternya effortless.”

“Tapi, si orang-orang itu kan juga tetep usaha untuk ada di tahap ini, Zel. Dan kita nggak tau usaha apa aja yang dia lakuin dan ada badai apa aja yang dia terima. Entah usaha dia kecil atau besar, pasti ada usahanya dulu. Di dunia itu kan nggak ada yang 'langsung jadi’, Zel. Mie instan aja tetep harus dimasak, kan?”

“Sekarang, coba kamu mikirnya 'kalo dia bisa, kenapa gue ngga?’. Boleh kok iri sama orang, nggak papa. Setiap orang pasti punya rasa iri. Tapi jangan berlebihan sampe bikin kamu ngerasa 'rendah' atau 'ngga beruntung’. Kenapa ya gue ngga sepinter dia, kenapa ya gue ngga secerdas dia dan mungkin masih banyak kenapa lainnya yang kamu pikirin.”

“Tapi aku sebenarnya emang ngga beruntung dalam hal akademik. Aku mau belajar sekeras apapun, pasti hasilnya sama aja.” Zellena membalas dengan suara yang mulai parau.

Biru tersenyum, mendapati bibir Zellena yang sudah melengkung ke bawah.

“Setiap orang punya jatah keberuntungannya sendiri, Zellena. Kamu ngerasa ngga beruntung dalam hal akademik, tapi kamu beruntung dalam hal lain. Misalnya kamu bisa gambar, kamu bisa nyanyi, kamu bisa bikin kue, kamu bisa main skateboard, kamu bisa naikkin satu alis kamu dan lain-lain. Yang bisa kamu lakuin, belum tentu bisa dilakuin orang lain termasuk aku, loh. Aku nggak bisa bikin kue, aku ngga bisa gambar.”

“Kalo kata nenekku, manusia itu nggak pernah ngerasa cukup. Kamu iri sama orang-orang yang pinter, bisa aja dia juga iri sama kamu entah karena kamu bisa nyanyi atau bisa bikin kue atau bisa gambar atau karna kamu bisa naikkin satu alis kamu.”

Zellena tertegun, karena selama ini ia tidak pernah melihat diri dia sendiri. Zellena hanya terus melihat orang lain, kemudian akan membandingkan dirinya dan orang lain.

“Oh. Aku juga iri sama kamu yang bisa main raket pake tangan kiri padahal kamu bukan left handed. Kamu tau nggak aku udah sering latihan tapi tetep nggak bisa-bisa sampe akhirnya aku nyerah?”

Contoh-contoh yang Biru berikan itu membuat Zellena tertawa, sampai-sampai air matanya yang sedari tadi ia tahan akhirnya meleleh. Biru ikut tertawa kecil, sambil mengusap sisa air mata yang menempel di pipi sang gadis.

“Kamu harus sering-sering lihat ke diri kamu sendiri, Zel. Ada banyak hal special yang kamu punya, kok.” Biru tersenyum tulus.

Zellena menghela napas dan dilenguhkan dengan panjang. Membuang sisa-sisa rasa sesak yang memenuhi rongga dada. “Aku bingung mau ngomong apa,” lirihnya kemudian.

“Makasih...” Suara Zellena serak dan matanya kembali berkaca-kaca. “Aduh aku mau nangis.”

“Sini.” Biru langsung membuka lengannya lebar-lebar. “You can cry as much as you want here.

Tanpa ba-bi-bu, Zellena langsung menenggelamkan wajahnya di dada Biru dan menangis di sana. Tidak peduli pada posisinya yang terlihat seperti anak kecil yang sedang mengadu kepada ibunya. Tidak peduli pada posisi yang sebenarnya kurang nyaman.

Bermenit-menit lamanya, Zellena masih terlihat nyaman berada di posisi itu meski tangisannya sudah mereda. Tidak menghiraukan rasa pegal di leher dan punggungnya. Zellena masih asik mendengarkan ritme detak jantung Biru sampai-sampai Biru duluan yang bertanya.

“Kamu nggak pegel?”

Biru menunduk sedikit untuk mengintip. Tangannya bergerak mengusap lembut punggung Zellena.

“Pegel lehernya.”

“Ya udah bangun.” Biru menegakkan badan Zellena agar kembali terduduk.

“Kamu kaya ngga punya tulang,” komen Biru sebab Zellena sangat lunglai, bahkan tangannya masih berada di pundak Zellena menjadi tumpuan.

“Aku jadi ngantuk, ih. Kebanyakan nangis kali, ya?” kata Zellena sembari memukul-mukul kecil matanya.

“Ya udah, hayu pulang.”

Hayu. Tapi gendong,” pinta Zellena dengan tangan yang ia lebarkan. Matanya ia buat seperti puppy untuk merayu.

“Nggak.” Biru menolak. Dia langsung berdiri dan membersihkan pasir-pasir yang menempel di celananya.

“Ih.” Zellena mendelik, sembari ikut berdiri. “Aku udah sempoyongan, lho ini?”

“Biarin, nanti kalo jatoh di jalan, 'kan kamu sendiri yang malu.” Biru cekikian sendiri, tanpa kasihan langsung jalan meninggalkan Zellena.

“Ish.” Zellena menatap punggung Biru dengan sinis dan bergumam sendiri. “Biarin aja nanti juga kesandung.”

Entah Biru yang kecepetan jalan atau Zellena yang terlalu lambat. Zellena ketinggalan 3 meter di belakang Biru dan lagi-lagi bikin Zellena kesal.

“Cepet banget, sih dia jalannya. Mentang-mentang kakinya panjang.” Zellena menggerutu sendiri lagi. Sampai akhirnya sebuah ide licik muncul di kepalanya. Ia tersenyum jahat, lalu tertawa patah-patah.

“Ha ha ha.” Zellena menatap punggung Biru tajam, kakinya sudah berancang-ancang untuk berlari, dan …

“KAKAKK!!”

Zellena langsung berlari kencang sekuat tenaga sambil meneriaki Biru, tujuannya adalah punggung lebar Biru. Ia akan langsung melompat ke punggung itu kala sudah mendekat.

Biru menoleh dan nalurinya langsung memberi sinyal bahwa dia harus ikut lari sekarang juga. Maka ia berlari, membuat Zellena langsung melotot dan panik sendiri.

“KAKAK, JANGAN LAARRIIII!!”

“Capek, ya?”

Misi Zellena berhasil. Sekarang ia sudah berada di gendongan Biru.

Sebenarnya sengaja dibuat berhasil sama Biru. Mana tega Biru melihat Zellena duduk di trotoar sendirian sambil terengah-engah. Tenaga perempuan itu sudah habis karena mengejarnya. Walaupun sambil ketawa-ketawa, Biru tetap nyamperin Zellena dan langsung mempersilakan Zellena naik ke punggungnya.

“Menurut lu?” Zellena menyetus.

Biru ketawa lagi. “Lagian ngapain coba lari-lari gitu.”

“Ya orang kamu ninggalin aku.”

“Iya deh. Maaf, ya. Tapi kamu juga mau loncat ke punggung aku.” Biru mengalah walaupun ada pembelaannya juga.

“Jangan marah. Kan udah aku gendong,” kata Biru lagi karena Zellena nggak menjawab.

“Siapa yang marah aku nggak marah.”

“Itu.”

“Nggak.”

“Itu marah, Zelleenaaa.” Biru memanjangkan nada bicaranya.

“Nggak, Kakakkkk.” Zellena mengikuti, dan entah kenapa itu bikin Biru salah tingkah.

“Iya iya nggak.” Biru menciut.

Zellena tidak menjawab lagi. Ia hanya tersenyum penuh kemenangan dan mengencangkan pelukannya pada leher Biru.

Angin malam semakin menusuk kulit. Orang-orang di sekitar mereka pun sudah semakin menipis. Zellena asik memandangi bintang-bintang yang tersebar di langit tanpa suara, begitupun dengan Biru yang fokus berjalan sambil menahan Zellena di punggungnya.

“Capek, ya?” Zellena bertanya mengikuti kalimat Biru tadi.

Biru terkekeh. “Ngeledek.”

“Ih, serius. Aku turun, deh.”

“Tanggung, itu mobilnya udah keliatan,” jawab Biru sambil terus berjalan.

“Ya udah kalau kamu maksa.” Zellena cekikikan sendiri. Ngeledekin Biru itu salah satu hobi Zellena.

“Ini nggak gratis loh, Zel,” cetus Biru tiba-tiba.

“Hah?”

“Iya, nanti bayar.”

“Pake cinta?”

“Dih?? Bukan.”

“Terus pake apa, ganteng? Duit? Aku nggak punya duit kamu jangan coba-coba morotin aku.”

“Bukan juga.”

“Lah? Terus apa dooongg?”

“Pake nyawa.”

Zellena terkejut. “Ih?”

“Hahahaha.”

“Kamu bercanda, kan?”

“Menurut kamu?”

“Boongan. Kalo beneran kamu gila.”

“Nah, itu tau. Tapi aku emang gila, sih.”

“Ngaku?”

“Gila karena kamu.”

“Iyuh.”

“HAHAHAHAHA.”

--

--

ruby
ruby

No responses yet