Setelah membalas pesan terakhir Biru, Zellena langsung menyusul Biru yang sudah berjalan di depannya. Mereka menuju perpus, tempat Biru bersemedi.
Biru membawa Zellena ke meja
favoritnya, meja paling pojok.
“Kenapa lo selalu nggak mau interaksi langsung sama gue atau Eldin di sekolah?” tanya Biru langsung saat mereka sudah terduduk nyaman.
“Nggak ada basa-basinya banget,” balas Zellena meledek.
Biru hanya terkekeh kecil, menunggu jawaban Zellena.
Zellena bergeming sebelum cerita. “Gue takut aja. Eldin kan di sini terkenal dan lo temennya Eldin. Which is lo juga ikut terkenal pastinya, sedangkan gue invisible.”
“Gue pernah di-bully sama temen-temennya El waktu SMP karna mereka pikir, gue pacarnya El.”
“El itu dari SMP udah terkenal karna dia social butterfly. Everyone knows him. Dia dari SMP selalu terkenal sedangkan gue dari SMP selalu invisible.”
“Gue, abang gue, sama Eldin itu satu sekolah. Setelah abang gue lulus dari sana, gue berangkat sekolah sama El. Tapi, baru berangkat bareng yang ketiga. Gue udah di-bully.”
Ada jeda sebelum Zellena melanjut.
“Itu pembullyan dadakan banget. Gue kaget pas hari ketiga berangkat sama El, orang-orang pada natap gue sinis banget. Gue diomongin sana-sini, dibilang pansos, dibilang mau kecipratan famous, dibilang sok gaya, sok cantik, centil, dan lain sebagainya gitu, deh. Tapi yang paling parah buat gue, gue dibilang terlalu jelek untuk disandingi sama El.”
Ada sesuatu yang menusuk di dada Biru kala kalimat terakhir itu mengudara.
“Mungkin menurut mereka gue itu nothing buat deket sama El."
“Mereka nggak tau kalian sepupuan?”
“Awalnya nggak. Tapi jadi tau karna mereka keciduk El pas lagi bully gue. Di situ El langsung marah terus ngumumin kalo kami sepupuan.” Zellena ketawa.
“Kenapa nggak lo kasih tau dari awal?” Biru penasaran.
“Ya … soalnya buat apa? Emang semua orang harus tau kalo gue sepupunya El? Lagian mau sepupuan atau nggak, mereka nggak seharusnya bully orang.”
Biru termenung. Membenarkan ucapan Zellena dalam hati.
“Semenjak itu gue udah nggak pernah di-bully lagi, walaupun tetep ditatap sinis.”
“Makanya pas SMA gue ajak El kerja sama untuk tidak berinteraksi selama di sekolah. Kalaupun harus, kita selalu pura-pura nggak kenal dan pura-pura canggung.” Zellena ketawa lagi. Ia menghela napas panjang sebagai tanda ceritanya selesai.
Biru terdiam sebentar. “I’m sorry for you. Tapi seharusnya lo nggak perlu takut sama gue karna gue juga nothing di sini.”
“If you’re nothing, so do I. Gue bukan siapa-siapa sampai mereka harus jahat ke lo kalo kita interaksi.” Biru menatap Zellena serius.
“Tapi pasti hampir seluruh warga di sini kenal lo.”
“Nggak, tuh.” Biru menggeleng tidak setuju. “Kalo nggak percaya, coba tanya dia, dia kenal gue atau nggak.”
Biru menunjuk salah seorang siswa laki-laki yang sedang mencari buku.
“Tanya mereka juga,” lanjutnya sembari menunjuk segerombol perempuan di meja panjang berjarak 3 meter di depan mereka.
Zellena jadi ketawa besar. “Nggak ah!”
“Jangan takut buat interaksi sama gue, Zel. Kalo emang nanti hal yang lo takutin kejadian, kita lawan aja.”
“Kaya bakal sering interaksi aja.” Lagi-lagi Zellena ketawa, yang kali ini sembari memukul lengan Biru. Sebenarnya ketawa yang ini menutupi rasa gugupnya, entah kenapa dia jadi deg-degan saat Biru bicara itu.
“Kenapa jadi bahas gue, ya? Gue kan mau tau kenapa lo bengong.”
Biru langsung mendengkus. “Emang bengong aja nggak boleh?”
“Nggak. Bengong lo tuh kayak lagi mikirin utang!”
Biru tergelak kecil. “Gue nggak kenapa-napa, bengong aja, gabut.”
“Jangan curang gitu dong! Gue udah cerita, masa lo nggak cerita.”
Laki-laki itu menghela napas. “Gue cuma bingung nentuin jurusan.”
Zellena langsung berbinar. “Wahh, iyaya? Ini udah jadwal pendaftaran kuliah?!”
Biru mengangguk.
“Lo bingungnya kenapa?”
“Bingung aja mau ambil apa.”
“Ya, lo minatnya ke mana? Ambil sesuai kata hati.” Zellena mencoba kasih saran dan Biru tidak menjawab.
“Yang ngejalanin nanti lo sendiri. Jangan dengerin kata orang kalo ada yang bilang mending ini mending itu.”
“Kalo nanti lo nggak enjoy karna terlalu dengerin mereka, gimana?”
Biru masih bergeming. Ia mengakui ucapan Zellena benar adanya. Sebenarnya hampir tidak jauh dengan pemikiran dirinya sendiri, tapi entah kenapa Biru masih tidak yakin. Ia membutuhkan validasi seseorang and Zellena did it.
“Kok bengong?” Zellena menepuk pundak Biru entah untuk yang keberapa kali.
“Gue lagi mencerna kata-kata lo.” Biru menoleh, menatap Zellena dan memberikan senyuman, tapi yang ditatap malah mengangkat alisnya satu tanda kebingungan.
“Makan, yuk!”