Rumah Zellena ada di unit Lily dan rumah Eldin ada di unit Tulip. Sebenarnya jarak kedua unit itu hanya sekitar 300 meter, tapi Zellena maupun Eldin memang sangat jarang untuk mengunjungi rumah satu sama lain.
Sembari menunggu sang ibu menyiapkan titipannya, Zellena memilih untuk menyiapkan sepeda yang akan ia gunakan untuk ke rumah Eldin nanti.
“Zel.” Tak lama Mama keluar dengan satu paperbag besar di tangannya. “Nih, bilang ke Alma kalo ada yang kurang kabarin Mama,” paperbag itu diulurkan dan langsung diterima Zellena. “Oke.”
“Hati-hati.” Mama berpesan sebelum Zellena melesat pergi.
Sepanjang perjalanan, Zellena banyak menengok ke kiri dan kanan guna memperhatikan sekelilingnya. Komplek ini bisa dibilang luas dan besar, dan unit rumahnya itu ada di bagian tengah, jadi ia masih merasa sedikit asing dengan bagian belakang komplek ini, walaupun sudah beberapa kali ke sini.
Hanya membutuhkan waktu 3 menit untuk sampai di rumah Eldin. Setelah memarkirkan sepedanya di garasi Eldin, Zellena langsung mengetuk pintu utama rumah Eldin.
Tidak ada jawaban setelah ia mengetuk 3 kali, maka ia memilih untuk langsung masuk ke dalam rumah sepupunya itu. Zellena mengintip dan jalan mengendap-ngendap karna tak melihat satupun penghuni rumah.
“Tante Almaaaaaaaa,” Zellena memanggil si empu rumah seperti bocil yang menyamper temannya untuk diajak bermain. Berharap dengan panggilan itu Tantenya muncul.
“Iyaaaaa, tunggu, Zel. Tante lagi mandi,” teriakan Tante Alma terdengar dari arah belakang, dimana kamar Tante Alma berada.
“Okeeeeeeee,” balasnya teriak kemudian duduk di sofa ruang keluarga.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga yang ada di depannya. Eldin muncul dari sana dengan kolor selututnya. “Woi,” sapanya tidak ramah.
Laki-laki itu ikut duduk di sebelahnya. Dengan wajah tengilnya, ia langsung menembak pertanyaan, “gimana?”
Zellena mengernyit dalam. Pertanyaan pembuka macam apa itu? Tidak ada basa-basinya sama sekali.
“Tamu kalo baru dateng, tuh, dikasih minum atau makanan, El. Bukan pertanyaan no context gini.” Zellena menggerling. Sebenernya dia paham, itu cuma pura-pura aja.
Eldin tertawa terbahak-bahak. “Ituuuu, si Biru.”
“Hih.” Zellena menggulingkan matanya sinis.
Zellena terdiam sebentar dan menghela napasnya dulu, kemudian mulai bercerita. Selama Zellena bercerita, Eldin sering senyam-senyum bahkan cengegesan sendiri padahal menurut Zellena, ceritanya itu tidak ada yang lucu sama sekali. Tidak ada yang salah juga dengan cara ia bercerita. Sriap ditanya, Eldin cuma menjawab “nggak papa, lanjut aja”, jadi Zellena masa bodo.
“Sampe sekarang belum inget?” Eldin bertanya kala cerita Zellena selesai. Ia juga masih belum bisa menyembunyikan senyumannya.
“Inget tapi dikit terus ingetnya ngambang gitu, loh. Nggak jelas gitu lah kaya ngeblur banget pokoknya.” Zellena mulai merasa otak kecilnya itu sudah cape mengingat.
“Kenapa kita mainnya cuma sebentar, sih? Maksudnya kenapa kita mainnya cuma ‘saat itu’ doang? kenapa ngga sampe seterusnya, biar memori gue keisi banyak, jadi sekarang ngga lupa-lupa banget.” Zellena bertanya heran. Sedikit kesal sendiri juga.
“Karna dia pindah,” jawab Eldin lurus.
“Kenapa pindah?”
Eldin terlihat bingung. “Ada something gitu. Ini bukan ranah gue buat cerita.”
Zellena membulatkan mulutnya, tidak berani bertanya lebih jauh.
“Nanti tanya sendiri aja,” lanjut Eldin.
Zellena mendelik. “Hah? Out of nowhere banget gue kalo tiba-tiba nanya. Dijawab nggak, dikatain sok kenal iya.”
“Yaaa maksudnya nanti, kalo udah deket.” Eldin menekan kata terakhirnya kemudian lagi dan lagi cekikikan sendiri, Zellena sampe bingung dan hanya bisa merespon dengan gelengan kepala.
Sangat aneh. Begitu pikirnya.
Setelah menyelesaikan urusannya di rumah Eldin, Zellena langsung ke unit sebelah, unit Lavender, dimana rumah Biru berada.
Blok CI no 7. Pagar kayu. Sebelah kiri dari pintu masuk unit.
Setidaknya tiga ciri itu bisa Zellena pegang untuk mencari rumah Biru. Ia sangat asing dengan unit ini, jadi matanya sedari tadi tidak berpaling dari jejeran rumah di sebelah kirinya.
Zellena berhenti di depan satu rumah yang ia yakini adalah rumah Biru. Ia menyamakan tampilan rumah dengan ciri yang Biru berikan. “Ini bukan, ya? Sesuai ciri, sih, bloknya juga bener.” Zellena bergumam sendiri sembari memegang ponselnya, bersiap menhubungi Biru.
Zellena: Kak, ini rumah lo yang pagernya lagi kebuka bukan? kalo iya, gue udah di depan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu Biru membalas dan keluar dari rumah. Jantung Zellena langsung berpacu cepat kala pintu kayu bewarna coklat itu mengeluarkan suara dan memunculkan satu sosok laki-laki.
Zellena mendadak gelisah dan pingin cepat-cepat pulang.
“Zel.” Biru menyapa. “Nggak nyasar, kan?” tanyanya langsung berbasa-basi.
“Hai, Kak. Hehe nggak, kok.” Zellena tersenyum canggung, dia bingung harus jawab apa selain itu.
Biru ikut tersenyum. Canggung semakin mengurung mereka berdua sampai angin malam jadi terasa lebih menusuk. Biru bingung harus apa, jadi dia langsung mengulurkan kotak kecil yang daritadi ia genggam ke hadapan Zellena.
“Ini, gantungan lo,” ujarnya. Zellena sampai kaget karna pergerakan Biru yang tiba-tiba, dan tambah kaget karena Biru menyimpan gantungannya di dalam kotak, dalam hati berpikir kenapa gantungan aja dikasih kotak segala.
Zellena meraih kotak itu. “Makasih, Kak.”
Zellena langsung membuka kotaknya, memeriksa dan meyakinkan kalau gantungan itu adalah miliknya. Gantungan kepala kucing bewarna hitam yang kini sudah kembali seperti baru dan bisa digunakan lagi.
Di sebelahnya, Biru memperhatikan Zellena dengan seksama. Ada rasa terkejut dan tidak percaya kalau ia bisa bertemu lagi dengan Zellena.
Terakhir ketemu, Zellena masih terlihat sangat lucu dan mini. Sekarang, perempuan itu sudah bisa membawa sepeda sendiri, bahkan sudah bisa membawa motor. Jarak umur mereka hanya terpaut satu tahun, tapi Biru merasa jarak umur mereka itu lima tahun.
“Kak?” kesadarannya dikembalikan oleh Zellena. Biru mengerjap cepat, “iya?”
“Ini kotaknya gue bawa?”
“Iya, bawa aja.”
“Oke …” Zellena memasukan kotak itu ke saku hoodienya. “Makasih banyak ya, Kak. Maaf kalau gue ngerepotin. Gue pulang dulu.” Zellena tersenyum dan siap menaikki sepedanya kembali.
“Mau dianter, Zel?”
“Nggak usah, Kak.” Zellena langsung menolak cepat, ia tidak mau merepotkan Biru lebih banyak lagi.
“Oke-oke. Hati-hati kalau gitu. Kabarin kalo udah sampai.”
Zellena mengerjapkan matanya beberapa kali. Ada keheningan yang kembali tercipta karena Zellena sedikit shock akan ucapan Biru. Apa Biru serius meminta kabar darinya? atau itu ucapan spontan? Zellena bertanya sendiri dalam hati, degupan jantungnya jadi semakin cepat. Sedangkan ekspresi lawan bicaranya normal-normal saja, seperti wajah tanpa dosa.
Akhirnya Zellena hanya mengangguk terpatah-patah tanda mengiakan permintaan Biru, tanpa tau nantinya ia akan benar mengabari Biru atau tidak.