Zell point of view.
Gue pernah main sama Kak Karel waktu gue kelas 2 SD, katanya. Gue nggak tau main yang seperti apa tapi gue sekarang sudah bisa mengakui kalau itu benar. Walaupun memori gue hanya bisa mengingat 10% dari 100% rekaman masa itu. Gue nggak tau apa yang bikin gue bisa selupa itu sama Kak Karel, tapi gue emang nggak bisa mengingat semuanya. Menurut gue ini wajar, tapi gue nggak paham kenapa Eldin bisa sebegitu herannya ngeliat gue selupa itu.
Gue sama Kak Karel masih canggung banget. Ini udah beberapa menit sejak kami duduk di atas motor yang sama, tapi kami tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Gue cuma bengong sepanjang perjalanan sampai tiba-tiba hujan deras datang tanpa permisi.
Ada rasa kaget sedikit karena Kak Karel meninggikan kecepatan motornya untuk meraih sebuah halte di depan sana. Haltenya sudah hampir penuh sama beberapa orang yang juga meneduh di sini. Kak Karel langsung mengajak gue untuk berteduh setelah memarkirkan motornya.
“Ayo, Zel!”
Kami mendapat lapak untuk berdiri di bagian paling pinggir halte. Bikin kami jadi terkena tampias lebih banyak.
Tanpa diduga, angin berhembus dengan kencang disertai petir yang menggelegar. Gue reflek menutup kuping dan menggeserkan tubuh ke kiri karena angin dan tempiasan itu datang dari arah kanan. Gue sampe narik Kak Karel untuk bergeser ke kiri agar posisi dia lebih aman.
Hujan tambah deras bersamaan dengan petir yang sesekali muncul.
“Lo takut petir?” Kak Karel bertnya tiba-tiba setelah guntur terakhir menghilang.
“Nggak, tapi kalau ada kilat kayak gitu gue tetep kaget,” jawab gue jujur.
Gue bisa melihat dari ekor mata gue kalau dia hanya menganggukkan kepala.
Udah hampir 10 menit kami di sini. Atasan olahraga gue mulai terasa lembab dan bikin suhu tubuh gue jadi menurun. Luka di lutut kanan gue juga mulai terasa perih karena beberapa kali kegesek dengan celana olahraga gue yang sedikit basah.
Hujan sudah mulai mereda sedikit demi sedikit, beberapa manusia yang tadi meneduh di sini memutuskan untuk menerobos si hujan. Gue sama Kak Karel sekarang sudah bisa duduk di kursi halte.
Kami duduk menunggu hujan tanpa obrolan karena gue sibuk angetin diri gue sendiri sedangkan laki-laki di sebelah gue sibuk merhatiin jalanan. Dia terlihat santai dan tidak ada tanda-tanda kedinginan.
Badan gue tanpa sadar bergetar singkat tanda menggigil. Dan nggak lama dari itu, Kak Karel bangun dari duduknya untuk menghampiri motornya.
“Kak — aw!” rasa perih di lutut gue langsung menjalar ke seluruh kaki saat gue berdiri dadakan sampai gue harus meremas paha atas gue untuk mengurangi rasa perihnya. Rasanya mau teriak karena perihnya menusuk.
“Zel?” Kak Karel keliatan panik, dia langsung balik nyamperin gue dan berlutut di depan gue.
“Kenapa?” lanjutnya. Gue nggak tau gue kepedean atau gimana, tapi nada bicara dia terdengar khawatir.
Gue masih nunduk karna masih mencoba untuk tidak menangis kencang di sini. Jadi gue cuma bisa geleng-geleng kepala.
Dia kemudian kembali duduk di kursi dengan diam. Mungkin membiarkan gue terlebih dahulu.
“Zel??” Kak Karel manggil lagi. “You okay?”
Otak gue menjawab “i’m not” tapi kepala gue malah mengangguk tanda “i’m okay.” Setelahnya, gue pelan-pelan angkat kepala dan menghembuskan napas. Gue apus sisa-sisa air mata gue yang tadi keluar kemudian tersenyum ke arahnya dan berkata, “Nggak papa, kok. Gue tadi lupa kalau gue punya luka di lutut terus gue berdirinya nggak pelan-pelan jadi langsung perih.”
“Lo tadi kaget karna gue langsung berdiri, ya?”
“Iya hahahaha. Gue panik gue kira lo mau ninggalin gue. Tapi nggak papa, kok. Guenya juga lupa kalo lagi ada luka di lutut.” Gue mencoba jawab setenang mungkin.
Air mukanya langsung berubah. “Sorry … gue tadi baru keinget kalau gue bawa jaket jadi langsung reflek berdiri…” Dia melirih dengan muka yang melas, tapi malah terlihat lucu di mata gue.
“Mau pulang sekarang aja?Mumpung udah nggak ada gledek. Jadi lukanya bisa cepet-cepet diobatin. Tapi lukanya bakal perih nggak kalau kena air?” Kak Karel nanya dengan satu tarikan napas dan lagi-lagi bikin gue ketawa. Karel yang sekarang sangat beda dengan Karel yang Senin lalu gue temui.
Gue nahan senyum sambil mengangguk. “Ayo mau.”
“Lukanya nggak papa?” tanyanya sekali lagi.
“Nggak papa dia nggak perih kalau kena air. Lagian ini hujannya juga tinggal gerimis.”
“Ya udah tunggu sebentar, gue mau ambil jaket.” Kak Karel langsung bangun dan menghampiri motornya untuk mengambil jaket.
Jaket denim. Dia lagi-lagi membawa jaket denimnya. Dan gue pikir, dia ambil jaket itu untuk ia kenakan sendiri, tapi ternyata dia menyerahkan jaketnya untuk gue.
Gue menatap dia bingung. “Biar nggak dingin. Masih bersih kok jaketnya,” ujarnya menjawab rasa bingung gue.
Wow??
“Oke … thanks?”
Beda saat jaket denim ini dipakai oleh gue dan dipakai oleh pemiliknya. Di tubuh gue, jaket ini malah menenggelamkan badan gue sampai ke tangan gue pun tenggelam. Sedangkan di tubuh Kak Karel, jaket ini menjadikan si empu semakin terlihat sempurna. Wangi parfum langsung tercium ketika gue pakai jaket ini dengan benar. Wangi yang cukup segar di hidung gue.
Selama di perjalanan, gue sebenarnya mau mengajak dia ngobrol. Tapi gue takut menganggu fokusnya. Jadi baik gue ataupun dia, sama-sama terdiam lagi.
Perjalanan yang sungguh hening.
Saat sampai di rumah gue, mama langsung nyamperin kami serta mengajak Kak Karel buat masuk ke rumah gue dulu. Mama ngambilin handuk serta kaus untuk dipakai sama Kak Karel, kata mama harus ganti baju karena takut masuk angin.
Sambil nungguin Kak Karel ganti baju, gue mutusin buat membersihkan luka gue di pantry yang berada di sebelah kiri kamar mandi. Luka gue yang belum mulai mengering jadi basah lagi karena insiden berdiri tadi. Rasa perih kembali menyerang saat obat merah gue tetesin di sana.
Cklek.
“Zel.” Persis kayak di halte tadi, Kak Karel langsung nyamperin gue yang lagi duduk di kursi tinggi pantry sambil menjatuhkan seragamnya ke lantai begitu saja. Tangannya dengan cepat mengambil alih cotton bud yang lagi gue pegang.
Shock? Tentu. Siapa yang nggak kaget kalau tiba-tiba diginiin. Jantung gue aja langsung berpacu dengan cepat. Gue sampai terbengong-bengong ngeliatin dia yang telaten banget bersihin luka gue.
“Ini lo jatoh di aspal ya?” Suara Kak Karel mengembalikan fokus gue. Tapi gue jadi gugup.
“Eh? Iya itu … jatoh dari sepeda yang abis dari rumah lo itu .. hehe.” Gue cengegesan sendiri.
“Kok bisa?” lanjutnya bertanya tanpa melihat ke gue. Dia kembali fokus pada luka gue yang ingin ditempelkan plester olehnya.
“Gue nggak liat ada batu gede terus kelindes. Oleng, deh.” Jawaban yang ini bohong karena nggak mungkin gue jujur kalau gue jatoh karna salting abis ketemu dia..
Dia ketawa kecil sambil berdiri karna pengobatan luka gue udah selesai. “Makanya hati-hati,” ucapnya sambil beresin kotak P3K punya gue.
Gue nyengir sambil turun dari kursi karna posisi kami sekarang sedikit bahaya. “Namanya juga jalan gelap,” gue membela diri seraya mengambil seragam dia yang tergeletak di lantai.
Setelah urusan di pantry selesai. Gue nemenin Kak Karel ke belakang rumah untuk menghampiri mama yang lagi nyuci karena laki-laki ini mau pamit. Setelahnya, gue anter dia lagi ke gerbang.
“Gue pulang dulu, ya, Zel. Makasih pinjeman bajunya. Nanti tolong ingetin gue kalo tiga hari kedepan belum gue balikkin, takut lupa.”
“Okee. Makasih juga, ya. Sorry kalo ngerepotin.”
“Ngga ada yang repot.” Kak Karel tersenyum sambil menaiki motornya. Dan sebelum melajukan motornya, ia berpesan, “Bye, Zel. Jangan lupa mandi.”
Gue cuma bisa ketawa sambil ngeliatin dia yang semakin lama semakin mengecil. Setelah hilang dari pandangan, barulah gue masuk ke rumah.
“Zel, ini jaketnya si Karel Mama cuci, ya.”
O-ow, I forgot I was wearing his jacket…