Dimulai dari hari Selasa, Rabu sampai Kamis, Zellena masih belum juga menemukan sosok kakak kelasnya. Padahal ia sudah rela menghabiskan waktu istirahatnya di Perpustakaan seorang diri, bahkan saat jam pulang sekolah pun, Zellena masih mau untuk kembali dan menunggu di tempat ia dan seniornya itu bertemu Minggu lalu.
Sekarang sudah hari Jumat, sudah satu minggu sejak pertemuan itu terjadi. “Udah ketemu Jumat lagi.” Zellena melirih kala melihat tanggal di ponselnya. “Gue harus mangkal di Perpustakaan lagi nggak, ya?”
“Sebenernya udah males dikit. Tapi masa iya nggak gue balikin?” Ia menatap langit-langit kamarnya dengan serius, seolah-olah langit kamarnya itu bisa mendengar dan akan memberi bantuan.
“Gue, tuh pengen salahin orang. Tapi siapa yang bisa gue salahin?!?!?”
Sebenarnya bel tanda pembelajaran selesai sudah berbunyi sejak 7 menit yang lalu, tapi Zellena tidak bisa langsung meninggalkan kelas karena ia harus menunggu teman-temannya yang berpiket terlebih dahulu, mengingat ia adalah seorang ketua kelas yang menjadikan kelas 11 IPS 3 ini adalah tanggung jawabnya. Ia harus memastikan kelasnya itu dalam keadaan rapi dan bersih sebelum ditinggalkan selama dua hari.
Setelah teman-temannya menyelesaikan piket dan pulang, Zellena langsung melangkahkan kakinya menuju Perpustakaan yang berada di tengah-tengah perbatasan gedung kelas 10, 11 dan gedung kelas 12.
Saat memasuki Perpustakaan, kakinya langsung melangkah cepat menuju bagian Perpustakaan paling pojok. Ia merapalkan doa agar ia dipertemukan oleh seniornya. “Aku hari ini nggak bawa chargernya tapi semoga hari ini aku ketemu kakak kelas itu Ya Tuhan.”
3 detik kemudian, doanya dijabah. Dari jarak yang cukup jauh ini Zellena bisa melihat ada seseorang yang tiba-tiba menduduki kursi di mana seniornya itu duduki Minggu lalu. Zellena sampai menghentikan langkahnya karena terkejut. Mulutnya terbuka lebar dan jantungnya langsung berdegup kencang.
“Doa gue langsung dijabah?” Zellena masih menikmati rasa kejutnya. Ia kemudian lanjut melangkah pelan-pelan. Matanya tanpa sadar menyipit karena berusaha mengenali sosok tersebut dari jauh.
Semakin dekat, semakin bingung dia. Zellena masih memperhatikan laki-laki itu dengan serius.
Plak
Perempuan itu hampir teriak saat akhirnya mengenali sosok itu. Ia hampir teriak kalau saja ia tidak bisa menutup mulutnya dengan cepat. Tapi jadi menimbulkan suara karena gerakan refleknya terlalu kencang. Beruntung bagian pojok Perpustakaan itu sepi.
“Ini beneran si charger guy. Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Thank God,” Zellena berteriak di dalam hati sambil melompat-lompat kecil. Ia terlalu senang sampai salah tingkah sendiri. Senang karena tidak menyangka keinginannya dikabulkan secepat itu.
Zellena merasa pertemuan hari ini lebih membuat gugup daripada pertemuan Minggu lalu. Ia sampai membutuhkan waktu beberapa waktu untuk mengusir rasa gugupnya. Setelah dirasa sudah lebih rileks, Zellena maju 3 langkah.
“Halo, Kak.” Zellena menyapa dengan percaya diri.
Yang dipanggil menoleh 2 detik setelahnya. Melepas earphone di kedua telinganya dan mengangkat dua alisnya sebagai respon.
“Aku — saya Zellena, yang minggu lalu minjem charger — Kakak.” Zellena bingung harus menggunakan subjek yang mana. Rasa percaya dirinya langsung tersedot kala Biru menatapnya.
Biru membulatkan mulutnya, air mukanya juga langsung terlihat lebih ramah. “Ah iya. Sorry, ya kemarin gue nggak inget kalo chargernya masih di lo jadi gue nggak tagih.”
Zellena tersenyum kaku, “Chargernya saya bawa pulang jadinya, tapi maaf, Kak, sekarang chargernya nggak saya bawa karena saya pikir kita nggak bakal ketemu hari ini …”
“Nggak papa. Nggak perlu minta maaf.”
“Senin saya bawain, Kak. Kita ketemuan lagi di sini, ya?” Zellena tersenyum riang.
Biru mengangguk, “boleh.”
“Oke kalau gitu. Sekali lagi maaf, ya, Kak. Makasih juga. Chargernya aman, kok, nggak saya apa-apain.” Zellena nyengir lagi.
“Nggak papa, Zel,” balas Biru lembut. Sangat jauh berbeda dengan nada bicaranya di Minggu lalu.
“Hehe. Oke. Kalau gitu, aku pamit pulang duluan hehe. Makasih, Kak.”
Zellena langsung berbalik badan, ingin melangkah tapi tidak jadi karena Biru memanggil.
“Zel.”
Mau nggak mau, Zellena kembali menghadap Biru.
“Iya?”
“Nama gue Karel dan gue bukan dosen. Jadi ngomongnya santai aja, nggak usah formal.”